Rabu, 06 Juni 2012

DI BALIK SENYUM TOPENG MONYET

Sore yang cerah, langit tampak biru dan udara segar. Hari Off yang sempurna. Sambil minum teh duduk di teras depan, mengamati jalanan yang agak tenang kala itu. Dari kejauhan tampak seorang bapak-bapak tua yang membawa kotak kayu lumayan besar di bahunya. Sebuah gendang kecil ditabuhnya, menghasilkan bunyi yang ramai dan memecah kesunyian sore itu.

Oh.. ternyata topeng monyet. Sudah lama aku tidak menyaksikan atraksi itu. Sebuah sirkus mini yang menyuguhkan hiburan monyet dengan beragam aksi. Yang paling membekas dalam ingatanku adalah “Sarimin pergi ke pasar deng dereng dereng” dan berbagai tingkah lucu lain yang membuat orang berdecak kagum dan tertawa. 


Seorang tetangga sebelah rumah memanggil bapak tadi dan menyewanya untuk beratraksi. Anak ibu tadi ternyata merengek-rengek pengen lihat topeng monyet. Hmm..sebuah hiburan gratis, ikut nonton ahhh.. 

Dalam waktu sekejab halaman rumah Bu Toto dikerumuni anak-anak kecil. Pertunjukkan dimulai. Lucu sekali monyet itu, berlenggak-lenggok layaknya manusia. Wow!!! Hebat sekali banyak aksi baru seiring perkembangan jaman. Ada aksi monyet menelepon, mainan laptop dan naik motor. Wah… seru, jaman dulu si monyet bisanya cuma pergi ke pasar sama main reog.

Tak terasa 1 jam berlalu begitu cepat dan pertunjukan berakhir. Akupun kembali ke rumah dan memilih secangkir kopi sebagai teman nonton tivi. Program berita reportase sore kupilih. Males aku dibuatnya beritanya Nunun dan Nazaruddin terus. Bosan, muak aku dengan aparat negeri ini yang terus menerus bermasalah.

Ada berita lain, ini tentang topeng monyet. Sebuah liputan yang membuat hati saya sedih. Kenapa? Ternyata di balik keceriaan dan senyuman si moyet tersimpan derita yang begitu mendalam. Bagaimana tidak menderita, dalam melatih aksi monyet pawang kerap melakukan siksaan. Ada seekor monyet diikat leher dan tangannya, sang pemilik berkata “ Ini dilakukan supaya monyetnya nurut, kalau nggak dikerasin mana mau.”

Hmm sekali lagi sedih aku dibuatnya. Jengkel sekali aku mendengar ucapan bapak tadi. Sadar dong pak!!! Orang bayar atraksi untuk melihat si monyet, dia bintang utamanya bukan bapak. Jadi sudah selayaknya monyet tersebut mendapat perlakuan sepantasnya. Harusnya dilatih itu dengan kasih sayang bukan siksaan seperti itu. Monyet juga makhluk Tuhan.

Terlebih ketika sang reporter menunjukkan bagaimana kandang dan makanan si monyet. Asli… Benar-benar tidak layak. Dalam sebuah kandang kecil si monyet harus berbagi kamar dengan beberapa monyet lainnya. Pasti si bintang merasa tidak nyaman. Makanannya pun asal-asalan, seadanya. Makan pisang dan kacang sebulan sekali rasanya sudah untung. Maklum semua pendapatan yang didapat dari atraksi hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan si pawang dan keluarga. Monyet hanya mendapatkan sisa. Saya tak bisa berkata apa-apa, antara marah dan sedih. Melihat kondisi si pawang yang serba kekurangan membuat hati iba.

Buat si monyet “sabar ya…terima kasih atas hiburannya”

Buat si pawang” pak.. tolong monyetnya diperhatikan. Dia makhluk ciptaan Tuhan yang butuh makan, tidur dan perlakuan yang layak. Anggaplah dia sebagai partner kerja bukan sebagai budak penghasil uang. Karena dia juga bapak bisa makan seharusnya dia pun demikian”

2 komentar:

  1. Bener juga tuh.
    Aku sebelunya juga nggak nyangka kalo' ternyata keras juga ndidik si monyet.
    Nasib mu nyet, nyet....

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kasian si monyet..... seharusnya ada perlindungan eksplorasi hewan tapi kasian juga pemiliknya hidupnya juga pas-pasan.. waduh jadi DILEMA

      Hapus