Senin, 04 Juni 2012

VIRUS MERAH JAMBU (CINTA DISAMBAR TUKANG MARTABAK)

Sebelumnya aku minta maaf atas apa yang akan kuceritakan ini. Kisah ini benar-benar terjadi dan menimpa kawan baikku sendiri. Aku tidak ada maksud untuk membuka aib. Hehehhe ini hanya pemikiran iseng untuk mendokumentasikan perjalanan virus merah jambu yang menimpa temanku.

Robi nama pemuda asal kota pahlawan Surabaya tampil menawan dengan gaya khas penyanyi Malaysia. Dengan bandana yang selalu melekat di kepala dan rantai kecil yang terjuntai di saku celananya. Sungguh rocker sejati yang menyukai aliran music metal alias melayu total. Penampilan boleh Rambo tapi hati Rinto. Badan sedikit bertato tapi hobby bermain yoyo. Jika dilihat sekilas dia tampak garang namun sebetulnya penuh kasih sayang. Malah lebih terkesan sedikit pemalu dan kemayu.


Sejarah cinta si Robi sangat beragam. Dia lumayan berpengalaman dalam urusan virus merah jambu, virus cinta yang menusuk kalbu. Namun sayang semua berakhir tragis tanpa ending yang manis. Dua kali diputuskan karena pacarnya mendapat pria idaman yang ternyata bukan dia. Sekali gagal bertunangan karena orangtuanya kurang setuju terhadap calon yang diajukan. Benar benar menyedihkan. Persis seperti lagu-lagu sendu yang selalu bergema dari ipod mininya. Tragis dan penuh dengan tangis kisah cintanya.

Namun Robi yang selalu di selimuti kegagalan tak pernah patah semangat. Dia memiliki optimisme kelas kakap. Semangatnya tinggi mengalahkan monas dan menara kembar di Malaysia jika digabungkan jadi satu. Hehehe..maaf saya sedikit lebay menceritakannya. Hidup harus tetap berjalan katanya. Life must go on.

Kata ampuh yang sering menghiasi masa kelamnya adalah “disukurin aja…disukurin disukurin”. Entah apa maksud sebenarnya. Ini syukur dalam arti yang sebenarnya atau sukur yang artinya olokan. Cukup dia yang tahu mantra ampuh penghilang sedih itu.

Berawal dari sebuah tugas ke luar kota yang sudah menjadi bagian dari rutinitasnya. Bekerja di salah satu perusahaan kontraktor membuatnya keluar masuk hutan untuk survey lapangan. Lumayan, profesi ini menjadi obat penenang juara di sela bayangan kegagalan cinta yang selalu membayanginya. Dengan mengunjungi lokasi, tempat dan suasana baru semangat terbentuk dengan sendirinya.

Mencari sebuah kamar kost untuk ditinggali selama beberapa bulan di sana. Rumah yang bersih, dekat tempat makan dan berada tidak jauh dari fasilitas umum seperti rumah sakit dan kantor polisi adalah lokasi kost idamannya. Dari satu rumah ke rumah yang lain. Dari satu pintu menuju pintu yang lain. Akhirnya sampai juga dia di rumah berwarna kuning gading itu. Rumah yang asri dan cukup memenuhi kriteria.

Bergegas Robi mengetuk pintu. Keluarlah seorang gadis manis berwajah imut menyapanya.

“Mau cari kost ya mas?”, tanya gadis tersebut.

“Iya mbak, ada tempat kosong?”, tanya Robi sedikit terbata-bata karena terkesima dengan aura sang gadis yang menurutnya mirip Gita Gutawa.

“Ada silahkan masuk, perkenalkan nama saya Dini. Saya yang mengurus tempat kost ini. Ibu yang punya rumah lagi ke luar kota.”, kata Dini dengan sedikit menunduk karena malu melihat tatapan aneh pria di depannya.

Akhirnya Robi mendiami tempat kost itu. Semakin hari hubungannya dengan Dini semakin akrab. Sepertinya virus merah jambu mulai menghinggapinya. Serasa dunia berbunga-bunga dan bintang berguguran melihat dia dalam keadaan jatuh cinta. 

Hari menjelang sore ketika Dini dan Robi terlibat obrolan ringan di teras depan . Udara mulai dingin. Di sana sesekali Robi mencuri pandang ke arah Dini. Dan terjadilah ritual penembakan itu.

“Din, kamu sudah punya pacar belum?”, tanya Robi dengan tatapan penuh harap.

“Belum mas”, jawab Dini singkat.

Sebuah pertanyaan standard penembakan terlontarkan “kamu mau ga’ jadi pacar aku?”. Dengan penuh keyakinan Dini menjawab “ya”. Disambut dengan sebuah pelukan mesra. Angin berhembus sedikit kencang membuat bunga melati di taman berguguran. Suasana ini menambah syahdunya sepasang kekasih baru itu.

Hari berganti dan waktu bergulir tanpa henti. Hubungan romantis nan harmonis terbina di antara mereka. Malam itu untuk pertama kalinya mereka jalan-jalan ke luar setelah sebulan jadian. Ya itung-itung merayakan anniversary satu bulanan. Sebuah pasar malam dengan berpuluh wahana mereka datangi. Indah sekali malam itu, bintang bertaburan langit bersih tanpa mendung dan awan. Cahaya lampu pasar malam sangat benderang menambah kilau tempat itu. Teriakan anak-anak yang sedang asyik bermain, seruan keras dari wahana yang memicu andrenalin disertai music keras dari para penjual CD bajakan membaur menjadi satu hingar bingar yang meriah. 

Setelah capek menantang beberapa wahana akhirnya mereka berdua beranjak pergi. Di depan pasar malam banyak sekali pedagang yang menjajakan berbagai hidangan. Martabak itu yang mereka singgahi. Ternyata penjual Martabak itu orangnya masih muda, mungkin tidak jauh beda dengan Dini dan Robi. Sebuah pemandangan menarik tatkala penjual tersebut menunjukkan kebolehannya bergulat dengan tepung dan bahan adoan lainnya hingga tercipta sebuah martabak yang begitu menggoda selera. Dini begitu terpesona dibuatnya. Matanya tak berkedip menatap setiap gerak-gerik demo masak tersebut.

Rasa yang begitu nyumiie melekat di lidah merasuk di hati. Martabak ini jempolan. Karena ketagihan mereka memutuskan untuk berlangganan martabak di penjual itu. Lama-lama akrablah mereka.

Tanpa sepengetahuan Robi, Dini mulai pendekatan dengan si penjual martabak. Robi tak curiga sama sekali karena menyangka kunjungan Dini ke sana tak lain karena ingin membeli martabak. Di awali dengan bertanya resep dan belajar masak Dini dan Si penjual menjalin kasih.

Hari itu datang juga, hari di mana Robi mengetahui semua kebohongan yang terselubung di bawah kulit martabak. Sebuah perselingkuhan. Hubungan berakhir dan ia meminta atasannya memutasi dia ke lokasi lain. Sebuah bencana tatkala hati mulai bersemi kembali tiba-tiba hanya karena martabak semua layu dan mati. Entah kapan luka ini akan terobati. Yang pasti dalam waktu yang tidak bisa ditentukan Robi jadi alergi martabak. Martabak laksana cermin Pandora yang merefleksikan kisah tragis masa lalunya. Kata ampuh itu terucap lagi “disukurin..disukurin”. Sekali lagi “tabah ya Robi”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar